SEMUA TENTANG ISTI'ADZAH


 Pengertian Isti‘adzah

1. Secara Bahasa (Lughawi)

Secara bahasa, isti‘adzah berasal dari kata dasar ‘a-dh-dza (ع-ذ-ذ) yang bermakna "memohon perlindungan". Dalam konteks bahasa Arab, isti‘adzah berarti meminta pertolongan atau perlindungan dari sesuatu yang menakutkan atau mengancam. Bentuk kata kerja أعوذ (a‘ūdzu) berarti "aku berlindung" atau "aku meminta perlindungan".


2. Secara Istilah (Terminologis)

Dalam istilah syariat, isti‘adzah berarti memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan yang terkutuk, agar terhindar dari gangguan dan godaan setan dalam segala bentuknya, baik secara fisik maupun mental, terutama saat akan melakukan ibadah, seperti membaca Al-Qur'an. Isti‘adzah dilakukan dengan mengucapkan kalimat أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (a‘ūdzu billāhi min ash-shayṭān ir-rajīm).


3. Dalil Isti‘adzah dalam Al-Qur'an

Dalil yang mendasari perintah membaca isti‘adzah sebelum membaca Al-Qur'an terdapat dalam Al-Qur'an, surah An-Nahl ayat 98:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al-Qur'an, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)

Ayat ini menunjukkan perintah untuk memulai bacaan Al-Qur'an dengan isti‘adzah guna menjaga kesucian dan kekhusyukan saat membaca kitab suci, serta menghindari gangguan setan yang dapat merusak konsentrasi dan pemahaman.


4. Referensi dari Hadits

Beberapa hadits juga menegaskan anjuran membaca isti‘adzah. Dalam riwayat dari Abu Sa‘id al-Khudri, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

"إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ"

"Jika salah seorang di antara kalian berdiri untuk melaksanakan shalat, maka hendaklah dia meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk." (HR. Muslim)


5. Referensi Klasik

Para ulama telah membahas isti‘adzah dalam berbagai literatur klasik. Di antaranya:

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menjelaskan bahwa membaca isti‘adzah sebelum membaca Al-Qur'an adalah sunnah yang sangat dianjurkan, karena menghindarkan dari godaan setan yang bisa menghalangi pemahaman dan kekhusyukan.

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat dalam Surah An-Nahl 98 adalah dalil yang jelas mengenai disyariatkannya isti‘adzah sebelum membaca Al-Qur'an, karena bacaan Al-Qur'an merupakan ibadah yang membutuhkan hati yang bersih dan pikiran yang terfokus.


6. Hikmah dan Tujuan Isti‘adzah

Tujuan utama dari isti‘adzah adalah untuk:

  • Menjaga kekhusyukan dalam ibadah, terutama saat membaca Al-Qur'an.
  • Memohon perlindungan dari bisikan, godaan, dan gangguan setan.
  • Mendekatkan diri kepada Allah dengan menunjukkan kerendahan hati dan ketergantungan kepada-Nya.
  • Mempersiapkan diri secara mental dan spiritual agar dapat memahami makna-makna Al-Qur'an dengan baik.



Perbedaan para Ulama terkait lafadz Isti'adzah.

Para ulama berbeda pendapat mengenai lafaz isti‘adzah (permohonan perlindungan kepada Allah dari setan) yang dianjurkan dibaca sebelum membaca Al-Qur'an. Perbedaan ini didasarkan pada hadits, riwayat sahabat, dan pendapat ulama. Berikut adalah beberapa lafaz isti‘adzah yang digunakan, beserta penjelasan dan dalil-dalilnya:

1. Lafaz yang Paling Umum:

Lafaz yang paling umum digunakan adalah:

"أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ"

(A‘ūdzu billāhi min ash-shayṭān ir-rajīm)

Artinya: "Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk."

Dalil: Lafaz ini didasarkan pada firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 98:

"فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ"

"Apabila kamu membaca Al-Qur'an, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk."


2. Lafaz dengan Penambahan "As-Samī‘ Al-‘Alīm":

Sebagian ulama menambahkan sifat Allah, seperti dalam lafaz:

"أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ"

(A‘ūdzu billāhi as-samī‘ al-‘alīm min ash-shayṭān ir-rajīm)

Artinya: "Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk."

Dalil: Lafaz ini didasarkan pada riwayat dari sahabat Hudzaifah bin al-Yaman. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ terkadang membaca isti‘adzah dengan menambahkan sifat-sifat Allah tersebut.


3. Lafaz dengan Penambahan "Min Hamzihi wa Nafkhihi wa Nafthihi":

Ada juga lafaz isti‘adzah yang menambahkan permohonan perlindungan dari gangguan lain setan, seperti dalam lafaz:

"أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ"

(A‘ūdzu billāhi min ash-shayṭān ir-rajīm min hamzihi wa nafkhihi wa nafthihi)

Artinya: "Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari bisikannya, tiupannya, dan ludahnya."

Dalil: Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari Abu Sa‘id Al-Khudri, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

"Apabila salah seorang dari kalian mengucapkan shalat, hendaklah ia mengucapkan: 'A‘ūdzu billāhi min ash-shayṭān ir-rajīm min hamzihi wa nafkhihi wa nafthihi'." (HR. Ahmad).


4. Lafaz Singkat:

Beberapa ulama memperbolehkan membaca isti‘adzah dalam bentuk singkat, seperti:

"أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ"

(A‘ūdzu billāhi min ash-shayṭān)

Artinya: "Aku berlindung kepada Allah dari setan."

Dalil: Pendapat ini didasarkan pada kebolehan menghilangkan sebagian lafaz selama inti maknanya tidak berubah, namun lafaz yang lebih sempurna tentu lebih utama.


5. Lafaz dengan Penambahan "Ar-Rajīm" dan "Al-Mustahāf":

Beberapa ulama memperluas isti‘adzah dengan menyertakan tambahan lafaz lain yang menunjukkan celaan lebih kuat kepada setan, seperti:

"أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ الْمُسْتَحَافِ"

(A‘ūdzu billāhi min ash-shayṭān ir-rajīm al-mustahāf)

Artinya: "Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk dan terhina."

Dalil: Walaupun tidak banyak riwayat yang sahih untuk lafaz ini, beberapa ulama berpendapat bahwa lafaz tambahan seperti ini diperbolehkan selama tidak keluar dari kaidah permohonan perlindungan.

Kesimpulan:

Meskipun ada beberapa perbedaan lafaz isti‘adzah di kalangan ulama, inti dari bacaan tersebut adalah permohonan perlindungan kepada Allah dari setan. Lafaz yang paling umum digunakan adalah "A‘ūdzu billāhi min ash-shayṭān ir-rajīm," yang memiliki landasan kuat dari Al-Qur'an (An-Nahl: 98). Lafaz-lafaz lainnya bisa ditambahkan berdasarkan kebutuhan, asalkan tidak mengubah makna dasar isti‘adzah.


Hukum Membaca Isti‘adzah dalam Shalat


Membaca isti‘adzah (permohonan perlindungan kepada Allah dari setan) di dalam shalat, khususnya sebelum membaca Al-Fatihah, adalah salah satu hal yang diperselisihkan oleh para ulama. Hukum dan cara membaca isti‘adzah dalam shalat berbeda-beda berdasarkan pandangan madzhab dan dalil yang mereka gunakan.

Berikut penjelasan mengenai hukum isti‘adzah dalam shalat dan perbedaan pandangan para ulama beserta dalil-dalilnya:


1. Madzhab Syafi‘i:

Menurut madzhab Syafi‘i, membaca isti‘adzah di dalam shalat sunnah sebelum membaca Al-Fatihah di setiap rakaat, baik dalam shalat jahriyah (dikeraskan bacaannya) maupun shalat sirriyah (dibaca dalam hati). Isti‘adzah dibaca setelah takbiratul ihram dan doa iftitah, sebelum memulai bacaan Al-Fatihah.

Dalil Syafi‘i:

Imam As-Syafi‘i berdalil dengan firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 98:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

"Apabila kamu membaca Al-Qur'an, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk." (QS. An-Nahl: 98)

Karena dalam shalat terdapat bacaan Al-Qur'an (Al-Fatihah), maka ayat ini dipahami sebagai perintah untuk membaca isti‘adzah dalam shalat sebelum membaca Al-Fatihah.

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' menyebutkan bahwa membaca isti‘adzah dalam shalat dianjurkan dan lebih baik dilakukan secara perlahan tanpa dikeraskan suaranya.


2. Madzhab Maliki:

Dalam madzhab Maliki, isti‘adzah tidak dianjurkan dibaca di dalam shalat. Mereka memandang bahwa tidak ada dalil khusus yang menyatakan disyariatkannya isti‘adzah dalam shalat, dan oleh karena itu tidak dianggap sebagai bagian sunnah dalam shalat.

Dalil Maliki:

Dalil yang digunakan madzhab Maliki adalah bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak diriwayatkan secara tegas membaca isti‘adzah dalam shalat. Alasan lainnya adalah bahwa shalat telah diatur secara rinci dengan tata cara yang jelas, sehingga jika isti‘adzah merupakan bagian penting, tentu Nabi ﷺ akan mempraktikkannya dalam shalat.


3. Madzhab Hanafi:

Madzhab Hanafi berpendapat bahwa membaca isti‘adzah dianjurkan di awal shalat, tetapi hanya pada rakaat pertama setelah doa iftitah, bukan di setiap rakaat. Isti‘adzah dibaca dalam hati sebelum memulai bacaan Al-Fatihah.

Dalil Hanafi:

Madzhab Hanafi juga mendasarkan pendapatnya pada surah An-Nahl: 98, tetapi menafsirkan bahwa isti‘adzah cukup dibaca pada awal bacaan Al-Qur'an dalam shalat, yang dalam konteks shalat berarti sebelum membaca Al-Fatihah di rakaat pertama saja. Pendapat ini juga didukung oleh riwayat dari sahabat Ibnu Mas‘ud, yang menyatakan bahwa isti‘adzah cukup dibaca satu kali pada rakaat pertama.


4. Madzhab Hanbali:

Madzhab Hanbali berpendapat bahwa membaca isti‘adzah di dalam shalat adalah sunnah pada rakaat pertama sebelum membaca Al-Fatihah. Seperti pendapat Hanafi, Hanbali juga memandang bahwa isti‘adzah cukup dibaca sekali di awal shalat dan tidak diulangi di setiap rakaat.

Dalil Hanbali:

Selain menggunakan dalil dari surah An-Nahl: 98, mereka juga berdalil dengan hadits Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

"كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا نَهَضَ إِلَى الصَّلَاةِ يَفْتَتِحُهَا بِالتَّكْبِيرِ، ثُمَّ يُقَرِّبُ بَيْنَ يَدَيْهِ..."

"Rasulullah ﷺ apabila berdiri untuk shalat, beliau memulainya dengan takbir, kemudian mendekatkan kedua tangannya..." (HR. Bukhari dan Muslim)

Madzhab Hanbali memandang bahwa isti‘adzah adalah bagian dari persiapan sebelum memulai bacaan Al-Fatihah di rakaat pertama.


Kesimpulan:

Secara umum, hukum membaca isti‘adzah di dalam shalat diperselisihkan oleh para ulama:

Madzhab Syafi‘i: Sunnah di setiap rakaat sebelum membaca Al-Fatihah.

Madzhab Maliki: Tidak dianjurkan membaca isti‘adzah dalam shalat.

Madzhab Hanafi: Sunnah di rakaat pertama sebelum membaca Al-Fatihah, tidak diulang di rakaat berikutnya.

Madzhab Hanbali: Sunnah di rakaat pertama sebelum membaca Al-Fatihah.

Semua pendapat didasarkan pada upaya memahami dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadits, serta praktik Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat.

Referensi:

Al-Qur'an, Surah An-Nahl: 98.

Al-Adzkar, Imam An-Nawawi.

Tafsir Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Imam Al-Qurthubi.


Post a Comment

0 Comments