BOLEHKAH MENGATAKAN SAYA MUKMIN INSYAALLAH? (hukum istitsna fil iman, pandangan Ahlussunnah dan lainnya)

 Menyatakan "saya mukmin insyaallah" adalah pernyataan yang mengandung makna mendalam dalam konteks keimanan. Secara umum, para ulama berbeda pendapat tentang apakah seseorang boleh mengatakan dirinya sebagai seorang mukmin disertai dengan kata "insyaallah". Untuk memahami lebih mendalam, mari kita tinjau dari beberapa aspek hukum dan pandangan ulama:


1. Pengertian Mukmin dan Insyaallah


Mukmin: Secara harfiah, mukmin berarti orang yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, malaikat, kitab-kitab, hari akhir, serta qadha dan qadar (rukun iman).


Insyaallah: Frasa ini berarti "jika Allah menghendaki" dan digunakan untuk menunjukkan ketergantungan manusia pada kehendak Allah dalam semua urusan.



2. Perbedaan Pendapat Ulama


Ada dua pandangan utama dalam hal ini:


Pendapat yang Membolehkan: Sebagian ulama memperbolehkan seseorang mengatakan "saya mukmin insyaallah". Mereka beralasan bahwa keimanan adalah urusan batin yang penuh dengan misteri, dan seseorang tidak bisa memastikan dirinya benar-benar beriman tanpa mengandalkan kehendak Allah. Dengan mengatakan "insyaallah", orang tersebut mengakui bahwa keimanannya berada dalam kekuasaan dan takdir Allah. Dalam hal ini, "insyaallah" bukan berarti keraguan, tetapi sikap tawakal kepada Allah.


Imam Al-Bukhari dalam kitab Sahih-nya mengisyaratkan pandangan ini. Dalam hal ini, "insyaallah" menandakan harapan dan kepasrahan pada Allah atas keimanan seseorang yang benar dan sempurna di sisi Allah.


Pendapat yang Tidak Membolehkan: Sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengatakan "saya mukmin insyaallah". Mereka beralasan bahwa keimanan adalah sesuatu yang harus diyakini sepenuhnya, dan tidak ada keraguan dalam hal itu. Bagi mereka, mengatakan "insyaallah" bisa diartikan sebagai keraguan dalam keimanan, yang bertentangan dengan keyakinan penuh seorang mukmin.


Ulama yang berpegang pada pendapat ini, seperti dalam madzhab Hanbali, menekankan bahwa ketika seseorang menyatakan keimanannya, dia harus melakukannya dengan keyakinan penuh tanpa menggunakan frasa "insyaallah", karena ini menunjukkan ketidakpastian.



3. Situasi di Mana Boleh Menggunakan "Insyaallah"


Dalam beberapa konteks, penggunaan "insyaallah" tidak dianggap sebagai keraguan, tetapi lebih sebagai bentuk kerendahan hati dan pengakuan bahwa keimanan yang hakiki hanya diketahui oleh Allah. Beberapa ulama menjelaskan bahwa seseorang bisa mengatakan "saya mukmin insyaallah" jika yang dimaksudkan adalah kesempurnaan keimanan. Artinya, dia yakin bahwa dia beriman, tetapi dia tidak berani memastikan kesempurnaan imannya di hadapan Allah. Dalam konteks ini, "insyaallah" menunjukkan kerendahan hati di hadapan Allah, bukan keraguan.


Imam An-Nawawi menyatakan bahwa jika seseorang menggunakan kata "insyaallah" bukan karena ragu, tetapi sebagai bentuk ketawadhuan, maka hal itu boleh. Namun, jika digunakan karena keraguan terhadap keimanan sendiri, hal itu tidak diperbolehkan karena keimanan harus diyakini sepenuhnya.


4. Hukum Umum


Berdasarkan penjelasan para ulama, hukum mengatakan "saya mukmin insyaallah" tergantung pada niat dan konteks penggunaannya:


Jika untuk menunjukkan kerendahan hati dan menyerahkan penilaian akhir kepada Allah: diperbolehkan.


Jika diucapkan karena keraguan terhadap keimanan sendiri: tidak diperbolehkan, karena seorang mukmin harus yakin dengan keimanannya.



5. Kesimpulan


Hukum mengatakan "saya mukmin insyaallah" berbeda-beda tergantung pada maksud orang yang mengucapkannya:


Jika kata "insyaallah" dimaksudkan sebagai bentuk tawakal dan kerendahan hati kepada Allah terkait kesempurnaan keimanan, maka hal ini diperbolehkan.


Jika frasa tersebut digunakan karena keraguan akan keimanan, maka tidak diperbolehkan karena keimanan adalah sesuatu yang harus diyakini sepenuh hati.



Dalam praktik sehari-hari, penting untuk memahami niat dan maksud saat menggunakan ungkapan ini, serta berhati-hati dalam masalah akidah.



Yang menyelisihi Ahlus sunnah dalam masalah ini.


Murjiah.


Murji'ah adalah salah satu kelompok teologis dalam sejarah Islam yang memiliki pandangan berbeda mengenai iman dan amal. Dalam masalah mengatakan "saya mukmin insyaallah", Murji'ah memiliki pandangan yang khas terkait hubungan antara iman dan amal serta kepastian keimanan seseorang.


1. Pandangan Murji'ah Tentang Iman


Semua pandangan Murji'ah terkait iman dan segala yang berkaitan dengannya, kembali pada satu keyakinan besar bahwasanya iman itu adalah sesuatu yang tetap dan satu, tidak bertambah dan tidak pula terbagi.


Mereka mengatakan : Iman adalah keyakinan dalam hati tanpa memerlukan amal: Pandangan utama dari Murji'ah adalah bahwa iman cukup berupa keyakinan dalam hati dan tidak memerlukan amal sebagai syarat kesempurnaannya. Mereka berpendapat bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari keimanan, karena iman tidak berkurang dengan dosa dan tidak bertambah dengan amal. Menurut Murji'ah, selama seseorang memiliki keyakinan di dalam hati (iman), maka dia tetap seorang mukmin meskipun tidak beramal atau melakukan dosa besar.


Menunda penilaian (irja'): Nama Murji'ah berasal dari kata "irja'" yang berarti "menunda" atau "menangguhkan". Mereka berpendapat bahwa penilaian terhadap pelaku dosa besar ditunda hingga hari kiamat dan hanya Allah yang berhak memberikan keputusan akhir mengenai keimanan atau kedudukan seseorang.



2. Mengatakan "Saya Mukmin Insyaallah" Menurut Murji'ah


Menurut pandangan Murji'ah, seseorang tidak perlu meragukan keimanannya jika dia telah mengucapkan kalimat syahadat dan meyakini keesaan Allah serta kenabian Muhammad. Mereka cenderung tidak setuju dengan penggunaan kata "insyaallah" dalam konteks pernyataan keimanan, karena hal tersebut bisa dianggap sebagai keraguan terhadap iman, sedangkan menurut Murji'ah iman adalah keyakinan hati yang tidak terpengaruh oleh perbuatan atau dosa.


Keyakinan penuh akan iman: Murji'ah berpendapat bahwa seseorang yang sudah mengimani Allah dan Rasul-Nya harus yakin bahwa dia seorang mukmin, tanpa keraguan sedikit pun. Bagi mereka, mengatakan "insyaallah" dalam konteks ini bisa menunjukkan adanya keraguan, padahal seorang mukmin menurut pandangan mereka adalah seseorang yang pasti beriman selama hatinya meyakini kebenaran Islam, terlepas dari amal dan dosa-dosa yang dilakukan.


Tidak ada keraguan dalam iman: Karena Murji'ah memisahkan antara iman dan amal, mereka menolak pandangan yang menyatakan bahwa seseorang harus berhati-hati dalam mengklaim keimanannya dengan menggunakan frasa "insyaallah." Bagi mereka, iman adalah sesuatu yang pasti jika sudah ada keyakinan dalam hati, sehingga tidak diperlukan sikap keraguan.



3. Perbandingan dengan Kelompok Lain


Jika dibandingkan dengan pandangan kelompok teologis lain, seperti Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menekankan bahwa iman terdiri dari keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan amal perbuatan, serta bahwa iman bisa bertambah dan berkurang, Murji'ah mengambil posisi yang jauh lebih sederhana. Mereka tidak memasukkan amal sebagai bagian dari iman dan karena itu, mereka tidak melihat perlunya mengucapkan "insyaallah" untuk menunjukkan kerendahan hati atau kehati-hatian dalam klaim keimanan.


Ahlus Sunnah wal Jamaah: Dalam pandangan mainstream Ahlus Sunnah, mengatakan "saya mukmin insyaallah" diperbolehkan jika niatnya untuk merendahkan diri di hadapan Allah, bukan karena keraguan terhadap iman.


Murji'ah: Sebaliknya, Murji'ah berpendapat bahwa penggunaan "insyaallah" dalam konteks keimanan tidak diperlukan karena iman itu sendiri adalah sesuatu yang tidak boleh diragukan.



4. Kesimpulan Pendapat Murji'ah


Pendapat Murji'ah dalam masalah mengatakan "saya mukmin insyaallah" cenderung menolak penggunaan frasa "insyaallah" dalam pernyataan iman. Menurut mereka, seorang mukmin harus yakin dengan imannya tanpa ada unsur keraguan. Karena iman menurut Murji'ah hanya terkait dengan keyakinan hati dan tidak bergantung pada amal perbuatan, seseorang yang telah memiliki keyakinan tidak perlu menggunakan "insyaallah", karena itu menunjukkan ketidakpastian yang bertentangan dengan prinsip iman menurut mereka.


Dengan kata lain, menurut Murji'ah, mengatakan "saya mukmin" harus dilakukan dengan keyakinan penuh tanpa penambahan "insyaallah", karena mereka memandang iman sebagai sesuatu yang tetap dan tidak terpengaruh oleh perbuatan atau dosa.


Post a Comment

0 Comments