Kehidupan seorang penuntut ilmu adalah kehidupan yang istimewa.
Karena ia akan bergerak dengan ilmu, berjalan dengan ilmu, dan diam dengan ilmu.
Oleh karena hal tersebut, kehidupan seorang Thalibul ilmi haruslah berbeda dibandingkan hidup orang awwam yang tidak mengenal ilmu.
Terlebih lagi di musim musim kebaikan seperti bulan Ramadan. Sudah seharusnya seorang penuntut ilmu memiliki amalan amalan yang menjadi pembeda antara ia dan orang awwam.
Karena sejatinya ilmu itu akan merubah karakter seseorang. Ia akan merubah kehidupan seseornag ke arah yang lebih baik.
Berikut ini adalah beberapa hal yang mesti dilakukan dan diperhatikan seorang Thalibul ilmi menjelang dan di dalam bulan Ramadan.
Yang pertama :
Hendaknya mempersiapkan diri dengan ilmu akan hukum hukum yang berkaitan dengan puasa. Karena banyak permasalahan detail yang terkadang luput dari perhatian seorang Thalib, atau bahkan terlupa. Oleh karenanya, mengulang ulang pelajaran dan pembahasan yang berkaitan dnegan bulan Ramadan terasa sangat penting.
Ini juga merupakan adat dari para salaf. Dahulu hingga sekarang, setiap masuk musim musim tertentu, mereka akan membuka pembahasan terkait musim musim tersebut. Dari amalan apa saja yang disyariatkan, apa saja penyimpangan yang biasa terjadi di dalamnya. Sehingga mereka masuk ke dalam musim tersebut denga persiapan yang matang. Misalnya, mereka membuka pembahasan puasa ketika akan masuk bulan Ramadan, atau hukum seputar haji sebelum masuk bulan Dzulhijjah, dsb.
Yang kedua :
Seorang thalibul ilmi dituntut untuk mengajarkan dan menyampaikan ilmu dan sunnah kepada masyarakat. Mereka diperintahkan untuk mengarahkan masyarakat ke jalan yang haq.
Ingat saja, bahwa salah satu pintu terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan cara menunjukkan manusia ke pintu pintu kebaikan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ.
أخرجه الترمذي (2685) وقال: "هذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ".
Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya, bahkan semut kecil di sarangnya, bahkan juga ikan ikan, mendoakan kebaikan untuk siapa saja yang mengajarkan manusia kebaikan.
Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda :
إن الدنيا ملعونة ملعون ما فيها، إلا ذكر الله وما والاه، وعالم أو متعلم.
Sesungguhnya dunia ini terlaknat dan terlaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali Dzikir kepada Allah, dan Seorang alim (yang mengajarkan ilmu) ataupun Muta'allim (yang belajar).
Dalam shahih Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
مَنْ دَعَا إِلَى هُدىً كانَ لهُ مِنَ الأجْر مِثلُ أُجورِ منْ تَبِعهُ لاَ ينْقُصُ ذلكَ مِنْ أُجُورِهِم شَيْئًا
Siapa saja yang mengajak orang lain kepada kebaikan, maka ia akan diberi ganjaran seperti ganjaran orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.
Maka, dengan hal ini jelaslah bahwa diantara jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada allah adalah dengan cara mengajarkan orang lain kebaikan, mengajarkan orang lain tentang hukum hukum islam yang sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Dengan catatan, jangan sampai bicara agama kecuali pada hal hal yang ia ketahui. Jangan nekat bicara hukum hukum islam tanpa ilmu.
Satu ketika Al Imam Asy Sya'bi kedatangan seseorang, lalu orang ini mengabarkan kepada beliau sebuah perkataan yang dinisbatkan kepada Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwasanya beliau berkata : "Sesungguhnya seseorang jika ia menjawab segala sesuatu yang ditnyakan kepadanya, maka ia adalah orang gila".
Asy sya'bi terdiam seketika, lalu menimpali : "Andai saja kami mendengar perkataan ini sejak lama, mungkin kami akan diam tidak menjawab di banyak pertanyaan yang ditanyakan kepada kami".
Kalau begini keadaan seorang pembesar para ulama; menyesali jawaban jawaban pertanyaan yang sampai kepada mereka, harusnya seorang penuntut ilmu harus tahu diri dalam amsalah tersebut.
Imam syafii pernah mengatakan sebuah perkataan yang siapa saja yang mendengarnya dia akan bisa melihat dimana level dirinya,
Beliau mengatakan bahwasanya ada 4 tingkatan dalam menuntut ilmu, salah satu diantara 4 tingkatan tersebut adalah ; orang bodoh yang belajar kemudian menyangka bahwa dirinya adalah orang yang paling Alim. Kemudian dia menjawab semua pertanyaan yang datang kepadanya, dia juga mensahihkan dan mendhaifka hadits-hadit Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tanpa ilmu. Orang ini juga sering menyalahkan para ulama pada hal hal yang sebenarnya ia bodoh pada hal tersebut.
Inti dari apa yang sudah disebutkan diatas, adalah hendaknya seorang Thalibul ilmi mengajarkan masyarakat tentang apa yang berkaitan dengan bulan Ramadan, dengan tetap menghadirkan rasa takut dan taqwa kepada Allah, sehingga ia tidak bicara tanpa ilmu.
Yang ketiga :
Hendaknya ia menjaga dirinya dari banyak bicara (pada hal yang tidak bermanfaat) selama bulan Ramadan.
Para salaf dahulu, terkenal sedikti bicara di bulan Ramadan.
Disebutkan bahwa Abu hurairah radhiyallahu 'anhu bersama teman temannya (dan teman teman beliau adalah para ulama tabiin) melazimi masjid selama bulan ramadan. Mereka mengatakan "Mari kita jaga puasa kita ini".
Maksud dari point ini adalah, hendaknya seorang Thalibul ilmu menjaga puasanya dari hal hal yang dapat merusaknya, dari banyak bicara pada hal hal yang buan urusannya misalnya, atau ghibah, namimah, berbohong dan lain sebagainya.
Ini harusnya menjadi karakter seorang muslim sepanjang tahun, dan terkhusus di bulan Ramadan.
Yang keempat :
Sudah seyogyanya, seorang Thalibul ilmi di dalam bulan Ramadan memperbanyak ibadahnya lebih dari apa yang dilakukan selainnya (dari orang awwam).
Maka, teramat salah pemikiran kebanyakan mereka yang mengatakan "ambil saja ilmuku, jangan pedulikan kelalaianku". Padahal tak sepantasnya seorang Thalibul ilmi mengatakan seperti itu, mengapa? karena setiap Thalibul ilmi akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah tentang ilmu yang ia dapatkan, ia juga akan ditanya tentang amalan yang masih belum ia kerjakan padahal ia sudah tahu ilmuya.
Jika seorang Thalibul ilmi ingin mengethui apakah ilmu yang ia tuntut itu dapat menjadi syafa'at baginya atau malah menjadi bumerang buruk atasnya, atau ia ingin melihat apakah ilmu yang ia tuntut itu bermanfaat atau malah menjaddi mudhorot untuknya, maka lihatlah kepada amalannya. jikalau ia melihat amalannya tersebut menmbahkan ketaatannya kepada Allah, amalan tersebut menambahkan taufik Allah kepadanya, maka ilmu itulah yang benar benar bermanfaat. sebaliknya, jika ia melihat ilmu yang ia tuntut tak membawa ia kepada amalan shalih, tidak menambah ketaatannya kepada Allah, bahkan ia dijauhkan dari taufik Allah azza wajalla, maka ketahuilah bahwa ilmu yang sedang ia tuntut tersebut tak bermanfaat untuknya atau bahkan ilmu tersebut dapat menjadi boomerang buruk atasnya.
Al Imam Hasan Al Bashri berkata ;
يجب على المسلم أن يعرض عمله ونفسه على كتاب الله وسنة رسولله صلى الله عليه وسلم. فإن وجدها خيرا فاليحمد الله وسأله الزيادة وإن وجدها على خلاف ذلك رجع عن قريب وأناب إلى الله عز وجل
Hendaknya setiap muslim menakar amalan dirinya kepada alquran dan assunah, jikalau ia mendapati hasil yang baik (sesuai dengan petunjuk alquran dan assunnah) maka hendaknya ia memuji Allah dan meminta agar ditambahkan. namun, apabila ia mendapatkan hasil sebaliknya(tak sesuai dengan alquran dan assunah) maka hendakanya ia segera kembali dan memohon ampunan kepada Allah azzawajalla.
Begitulah, setiap orang diperintah untuk melihat dan memperhatikan amalannya, terlebih lagi seorang thalibul ilmi. ketika ia mempelajari dan mendapatkan ilmu tentang sesuatu, ia harus bersemnagta untuk mempraktekkan ilmu yang ia dapatkan tersebut.
Oleh karenanya, Abu Abdirrahman Assulamy berkata ;
حدثنا الذين كانوا يقرئوننا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أنهم كانوا لا يجاوزون عشر أيات حتى يعلم ما فيها من الحلال والحرام ويعمل بها
Telah menceritakan kepada kami para sahabat nabi shallallahu 'alaihi wasalam yg kami berguru kepada mereka; bahwa mereka dahulu tak akan bernajak dari mepelajari 10 ayat Alquran sampai mereka mengetahui perkara hukum halal dan haram di dalamnya serta mengamalkan ayat tersebut.
Sekarang, lihatlah kepada sebagian ahli ilmu tentang hal ini :
Telah diriwayatkan dari abu bakar almarrudzi bahwasanya sufyan bin sa'id ats-tsauri rahimahullah berkata :
إن استطعت أن لا تحك رأسك إلا بسنة (أي ببحث عن علم لكي يكون عملك على سنة ) فافعل
Jikalau engkau bisa untuk tidak menggerakkan kepalamu kecuali dengan sunnah (maksudnya: memnuntut ilmu agar amalan sesuai dengan sunnah) maka lakukanlah.
Al imam Ahmad berkata :
ما علمت شيا من السنن قط فعله النبي صلى الله عليه وسلم إلا فعلته إلا سنة واحدة عجزت عن فعلها وهي أن أطوف راكبا (فقد ثبت في الصحيح من حديث أم سلمة رضي الله تعالى عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم طاف بالبيت راكبا) وما عدا ذلك فقد فعلت.
Tidaklah aku mengetahui sunnah sunnah nabi shallalhu 'alaihi wasallam apapun itu melankan aku kerjakan. kecuali satu sunnah yang aku tak bisa mengerjakannya, yaitu thawaf dengan menggunakan kendaraan. (sebagaimana hadits shahih dari ummu salamah bahwasanya rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam thawaf di ka'bah dengan berkedaraan) adapun selain itu aku sudah kerjakan seluruhnya.
Bahkan, beliau berkata (yang maknanya) : "Jikalau engkau mengetahui satu sunnah nabi shallalahu 'alahi wasallam maka kerjakanlah, walaupun sekali seumur hidupmu"
Ia menyebutkan hal tersebut dalam kitab Al-Khitaab, ketika menjelasakan tentang hadits Nabi yang menceritakan bahwasanya Beliau mewarnai jenggotnya dengan inai, beliau berkata : kerjakanlah walau sekali seumur hidup sebagai bentuk pengamalan atas sunnah.
Maksud dari semua ini adalah; hendaknya seorang Thalibul ilmi beramal di dalam bulan Ramadan ini dengan banyak amalan ketaatan yang melebihi apa yang dilakukan selain mereka (dari orang awwam).
Wajib baginya untuk menjaga lisannya, mejaga puasanya dari hal hal syubhat atau selainya. juga, harusnya ia mejadi orang yang paling banyak melazimi masjid, entah dalam rangka i'tikaf atau sekedar menetap. hendaknya ia juga bersegara dalam menjawab panggilan shalat lima waktu, bersemngat untuk mengamalkan sunnah dan yang semisalnya.
Tentang hal tersebut, seorang Imam Ahmad ketika beliau sedang melakukan sebuah perjalanan safar, ia bangun untuk shalat malam sedang teman teman seperjalanannya tak bangun untuk itu. ketika beliau melihat ke arah mereka beliau berkata :
عجبت لطالب العلم لا يقوم الليل
Aku sangat heran dengan seorang yang mengaku Thalibul ilmi seddang ia tak bangun malam.
Abu zinad berkata :
إن مما يعاب به على المتفقه أن يقل من قراءة كتاب الله عز وجل
Merupakan sebuah aib bagi seorang pelajar ilmu agama, jika ia sangat sedikit membaca kitab Allah (alquran)
Hendaknya seorang Thalibul ilmu atau setiap Muslim menjadikan Alquran sebagai wirid hariannya.
Maka, bersemangatlah untuk mendatangi setiap kebaikan yang ada, terlebih apa apa yang telah diketahui ilmunya. terlebih lagi di hulan yang dilipatgandakan ganjaran setiap amalan di dalamnya.
Yang terakhir, dan ini penting untuk para penuntut ilmu.
Hati hati jangan suka bawa bawa amalan yang asing di tengah masyarakat.
Atau waktu habis membahas hal hal yang syuzuuz dalam satu permasalahan.
Hal ini sering sekali jadi penyakit para penuntut ilmu pemula, ketika ia dapati ada pendapat yang asing dan lain dari yang dilaksanakan oleh masyarakat secara umum, ia amalkan itu dan bahkan ia sebarkan hal tersebut.
hal ini kalau tidak tepat dalam penyampaiannya justru membawa kepada kerancuan di tengah tengah masyarakat.
Ini di luar bab belajar ya, kalo memang dibahas secara ilmiyah tidak mengapa.
Salah seorang imam madzhab Hanafi, Ibnu Abdiin mengatakan : JIkalau ada seorang alim dari madzhab ini (hanafi) ia hafal seluruh riwayat dari kitab kitab hadis, lalu ia masuk ke dalam satu daerah, maka ia tidak boleh mengajar atau memberi fatwa sampai ia kuassai apa yang menjadi mazhab daerah tersebut.
Hal ini adalah sebagai bentuk pencegahan akan direndahkannya ilmu di mata masyarakat tersebut.
Ali bin Abi Thalib mengatakan ; Hendaknya seseorang tersebut menyampaikan apa yang bisa dipahami oleh masyarakat, kalau tidak, bisa jadi akan timbul penolakan terhadap syariat ini. Bukankah kalian tidak ingin syariat ini ditentang?
Intinya, jangan sampai penuntut imu itu mengerjakan amalan yang diluar ijma para ulama. Lebih baik berjalan bersama sebagian besar para ulama, dan ini lebih selamat.
Penutup.
Begitulah beberapa anjuran untuk setiap penuntut ilmu, agar jangan sampai amalan dia di bulan Ramadan kalah dari amalan awwam.
Mintalah taufik dari Allah agar dimudahkan dalam megamalkan ilmu yang sudah dipelajari.
Karena hakikat ilmu adalah apa yang diamalkan, apa yang ditinggalkan, hanyalah sebuah beban untk para penuntutnya.
Wallahu a'lam.
Abu Haatim dan Hassan Huzaifah Ali Akbar.
Diringkas dan disesuaikan dari muhadhoroh Syaikh Abdus Salam Asy-Syuwair.
0 Comments