Kami memang agak terlambat dibanding yang lain
dalam menemukan kitab "Ayahku" karangan Buya Abdul Malik Karim Amrullah.
Sebuah buku yang sarat akan makna perjuangan, dan keteguhan hati dalam
kebenaran.
Di salah satu bab dalam buku ini, Buya Hamka
membawakan sekelumit kisah persahabatan ayahnya (Abdul Karim Amrullah)
dengan seorang ulama ranah minang bernama Syekh Abbas Abdullah. Beliau
yang wafat pada medio 1957. merupakan seorang yang punya andil besar
dalam dakwah di tanah minang, khususnya di daerah Padang Japang-Suliki.
Kampung halaman kami.
Ibu kami pernah bercerita, tentang
bagaimana semaraknya belajar di zaman itu, Orang-orang kota berdatangan
ke kampung itu hanya untuk menimba ilmu, ber mulazamah dengan sang guru
dan juga murid murid terbaiknya. Oleh karena hal tersebut, Syekh Abbas
mendirikan sebuah tempat belajar, semacam pesantren dan diberi nama
Sumatera Thawalib, sebagaimana lazimnya madrasah-madrasah yang ada di
ranah minang kala itu.
Kami, di beberapa acara mudiak basamo yang
setiap beberapa tahun sekali diadakan, pernah berkunjung ke pesantren
yang kini sudah diubah namanya menjadi Darul Funun EL Abbasiyah, dan
melihat tapak tilas perjuangan seorang Syekh Abbas dan saudaranya Syekh
Mustofa Abdullah.
Memang kami tidak melihat adanya kekosongan
semangat berpendidikan di sana, akan tetapi, kami melihat ada sesuatu
yang hilang, seakan semua cerita yang pernah kami baca, dan kami dengar
tentang Syekh Abbas sirna. Hilang tanpa jejak.
Kami pernah
membaca, tenang bagaimana kuatnya Syekh Abbas dalam memegang dasar-dasar
keislaman, kuatnya beliau dalam meninggikan sunnah-sunnah, serta
kerasnya beliau menentang segala bentuk pengrusakan dalam hal agama.
Kami
juga mendengar dari Ibu kami, dan adik ibu kami, bahwa dahulu, di
tempat itu, ruh keislaman benar benar kentara terasa. Tidak adanya
campur baur antara lelaki dan wanita, pakaian wanitanya yang masih
benar-benar sesuai tuntunan, dan banyak hal lain yang ketika kami
berkunjung kesana, sudah lagi tak terlihat. Entah kemana perginya, Hanya
Allah yang tahu.
Nilai-nilai yang pernah diajarkan Syekh Abbas
(perihal tauhid, sunnah dan bid'ah, dll) seakan tidak turut untuk
dilestarikan bersama dengan semangatnya berpendidikan.
Tulisan
ini, bukan untuk pahlawan kesiangan yang tetiba datang mengahabisi yang
sudah ada. akan tetapi ini lebih kepada curahan hati anak kampung atas
hilangnya ruh dan semangat yang pernah ada di tempatnya berada, dan
benar saja, antara rumah kami dan madrasah itu, hanya sejauh 10 menit
berjalan kaki.
Pada akhirnya, kami teringat satu nasehat yang
terdengar klise namun tajam, "bahwa bakti terbaik dari seorang murid
adalah meluaskan apa yang diajarkan sang guru"
Semoga nanti,
kapan hari kami bisa mengajak kalian untuk berkeliling di kampung kami.
Ada sawah dengan latar pengunugan nan indah menawan, di ujungnya ada
sungai berair jernih yang segar untuk kita berenang, serta ketenangan
layaknya edensor di cerita fiksi Andre Hirata.
Sudahlah, madu jeruk nipis kami sudah habis, kita bertemu lain kali dengan cerita lainnya. DANKE.
0 Comments