Aku masih terbangun saat goncangan itu terjadi,untuk sepersekian detik jemariku terhenti menyentuh tuts keyboard..hingga akhirnya aku berdiri beranjak dari ranjang hangat..membuka pintu rumah dan melihat sekililing...aku kira tetangga rumah ini akan heboh dan keluar dari tempat hinggap mereka..ternyata,malam masih kelam,dingin masih sama..sepi masih seperti itu..lenggang.
Paginya,..setelah syuruq menjemput..aku duduk menikmati sisa embun di teras rumah ini,ini bukan rumahku..ini rumah singgah untuk sementara waktu..mengisi liburan singkat dengan satu dua hal , tiga empat kegiatan yg memberi manfaat. Aku dalam safar, Di kota dengan seribu cerita tentang marapi...BUKITTINGGI.
"Lai taraso gompo malam tadi ndak ?" bapak tuan rumah membuka kisah malam tadi.
"Lai pak,tapi sabanta sai nyo ,ambo kalua ndak ado heboh heboh..."jawabku singkat dengan sedikit tambahan agar kisah terus bergulir.
"Urang siko lah biaso goncangan goncangan mode tu,jadi ndak heboh do"
Kalimat itu menjadikanku tertegun sejenak..aku menerka...ada satu kalimat,mungkin qaidah, yang melayang di pikiranku...oh,ternyata
كثرة المساس تميت الاحساس
Iya...itu dia qaidah yang dibuat ulama..."terlalu seringnya merasakan akan mematikan sensitivitas"...aaah..apa pula itu ?
Jadi begini,mengapa tetangga tadi tidak keluar dan heboh dengan apa yang baru saja terjadi ? Itu karena mereka terlalu sering untuk merasakan goncangan goncangan seperti itu...aku juga sempat bercerita dengan seorang rekan kost asal lombok..tentang bagaimana hari hari mereka sudah terhiasi goncangan demi goncangan...hingga untuk heboh pun rasanya untuk apa ??
Begitulah... Para ulama membuat qaidah ini untuk berbagai macam keadaan..entah keadaan seseorang yang terlalu sering merasakan kenikmatan hingga lupa bersyukur...atau keadaan seseorang yang sering terpapar kemaksiatan hingga lupa lezatnya ketaatan.
Ketika seseorang sudah kehilangan sensitivitas terhadap sesuatu , maka berlalu sesuatu tersebut tanpa bekas apapun dari diri...terbiasa melihat aurat yang tersingkap..maka tak kan ada lagi rasa malu untuk memandang..terbiasa bertransaksi haram, maka tak kan ada lagi enggan dalam rasuwah dan korupsi...terbiasa mendapat harta besaar..maka tak lagi bersyukur dengan harta keciil.
Jika sudah sampai batas ini..maka ada sesuatu yang harus kembali di hidupkan..iyaa...sensitivitas itu sendiri..agar harta yang sedikit pun terasa nikmat.. Agar dosa yang kecil pun terasa besar.
Dalam hal terus menerus dalam kesalahan dan kemaksiatan terdapat sebuah hadits yang secara makna benar walapun dalam segi kualitas di lemahkan oleh ulama hadits..
لا كبيرة مع الاستغفار ولا صغيرة مع الاصرار
Tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar (meminta ampun pada Allah) dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus.”
Dengan ini...tepatlah perkataan seorang ibnu mas'ud ketika menshifati muamalah seorang mu'min dengan dosa
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya seakan-akan ia duduk di sebuah gunung dan khawatir gunung tersebut akan menimpanya. Sedangkan seorang yang fajir (yang gemar maksiat), ia akan melihat dosanya seperti seekor lalat yang lewat begitu saja di hadapan batang hidungnya.”
Sekian... Sebuah permasalahan dan solusi yang terangkum singkat dalam tulisan ini.. Permasalahan hati yang teramat biasa akan satu dosa...dengan solusi mengganggap besar dosa yang kita kira kerdil.
تحسبونه هينا وهو عند الله كبير
Engkau mengira itu remeh, namun disisi Allah itu amalah besaar
Inti dari apa yang kita baca diatas adalah...jangan biarkan hati ini terlalu sering menikmati apa yang seharusnnya tak dinikmati...karena yang kita takutkan adalah hilangnya 'rasa' ketika kita meraih sesuatu tersebut...seperti mereka,saudara kita yang bermain dengan goncangan..bercanda dalam gulungan.
---------------------------
📌di tulis prolognya di bukittinggi ,disempurnakan di bawah rindu dan rembulan tanah ibu,payakumbuh.
📅28 desember 2018
Paginya,..setelah syuruq menjemput..aku duduk menikmati sisa embun di teras rumah ini,ini bukan rumahku..ini rumah singgah untuk sementara waktu..mengisi liburan singkat dengan satu dua hal , tiga empat kegiatan yg memberi manfaat. Aku dalam safar, Di kota dengan seribu cerita tentang marapi...BUKITTINGGI.
"Lai taraso gompo malam tadi ndak ?" bapak tuan rumah membuka kisah malam tadi.
"Lai pak,tapi sabanta sai nyo ,ambo kalua ndak ado heboh heboh..."jawabku singkat dengan sedikit tambahan agar kisah terus bergulir.
"Urang siko lah biaso goncangan goncangan mode tu,jadi ndak heboh do"
Kalimat itu menjadikanku tertegun sejenak..aku menerka...ada satu kalimat,mungkin qaidah, yang melayang di pikiranku...oh,ternyata
كثرة المساس تميت الاحساس
Iya...itu dia qaidah yang dibuat ulama..."terlalu seringnya merasakan akan mematikan sensitivitas"...aaah..apa pula itu ?
Jadi begini,mengapa tetangga tadi tidak keluar dan heboh dengan apa yang baru saja terjadi ? Itu karena mereka terlalu sering untuk merasakan goncangan goncangan seperti itu...aku juga sempat bercerita dengan seorang rekan kost asal lombok..tentang bagaimana hari hari mereka sudah terhiasi goncangan demi goncangan...hingga untuk heboh pun rasanya untuk apa ??
Begitulah... Para ulama membuat qaidah ini untuk berbagai macam keadaan..entah keadaan seseorang yang terlalu sering merasakan kenikmatan hingga lupa bersyukur...atau keadaan seseorang yang sering terpapar kemaksiatan hingga lupa lezatnya ketaatan.
Ketika seseorang sudah kehilangan sensitivitas terhadap sesuatu , maka berlalu sesuatu tersebut tanpa bekas apapun dari diri...terbiasa melihat aurat yang tersingkap..maka tak kan ada lagi rasa malu untuk memandang..terbiasa bertransaksi haram, maka tak kan ada lagi enggan dalam rasuwah dan korupsi...terbiasa mendapat harta besaar..maka tak lagi bersyukur dengan harta keciil.
Jika sudah sampai batas ini..maka ada sesuatu yang harus kembali di hidupkan..iyaa...sensitivitas itu sendiri..agar harta yang sedikit pun terasa nikmat.. Agar dosa yang kecil pun terasa besar.
Dalam hal terus menerus dalam kesalahan dan kemaksiatan terdapat sebuah hadits yang secara makna benar walapun dalam segi kualitas di lemahkan oleh ulama hadits..
لا كبيرة مع الاستغفار ولا صغيرة مع الاصرار
Tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar (meminta ampun pada Allah) dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus.”
Dengan ini...tepatlah perkataan seorang ibnu mas'ud ketika menshifati muamalah seorang mu'min dengan dosa
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya seakan-akan ia duduk di sebuah gunung dan khawatir gunung tersebut akan menimpanya. Sedangkan seorang yang fajir (yang gemar maksiat), ia akan melihat dosanya seperti seekor lalat yang lewat begitu saja di hadapan batang hidungnya.”
Sekian... Sebuah permasalahan dan solusi yang terangkum singkat dalam tulisan ini.. Permasalahan hati yang teramat biasa akan satu dosa...dengan solusi mengganggap besar dosa yang kita kira kerdil.
تحسبونه هينا وهو عند الله كبير
Engkau mengira itu remeh, namun disisi Allah itu amalah besaar
Inti dari apa yang kita baca diatas adalah...jangan biarkan hati ini terlalu sering menikmati apa yang seharusnnya tak dinikmati...karena yang kita takutkan adalah hilangnya 'rasa' ketika kita meraih sesuatu tersebut...seperti mereka,saudara kita yang bermain dengan goncangan..bercanda dalam gulungan.
---------------------------
📌di tulis prolognya di bukittinggi ,disempurnakan di bawah rindu dan rembulan tanah ibu,payakumbuh.
📅28 desember 2018
0 Comments